Teori Antropologi

PERANG PANDAN SEBAGAI RITUAL RELIGI
PENDAHULUAN
Menurut salah seorang penduduk desa Tenganan yang saya wawancarai, pada zaman dahulu kawasan Tenganan dan sekitarnya diperintah oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang kejam, ia menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan. Mendengar hal itu para dewa di surga pun murka, lalu para dewa mengutus Dewa Indra untuk menyadarkan atau membinasakan Maya Denawa, dengan cara mengangkat Dewa Indra sebagai panglima perang. Melalui pertempuran yang hebat dan memakan korban jiwa yang banyak, akhirnya Maya Denawa dapat kalahkan.
Upacara Perang Pandan adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (dewa perang) dan para leluhur. Upacara Perang Pandan/Mekare kare ini diadakan 2 hari dan diselenggarakan 1 sekali dalam setahun pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) dan merupakan bagian dari upacara sasih sembah yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan. Pelaksanaan upacara Mekare-kare ini diadakan di panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu dengan tinggi sekitar 1 meter yang sudah dipersiapkan didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa. Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore. Semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), untuk  para pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju atau bertelanjang dada.
Perlengkapan perang ini yaitu pandan berduri diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada, sedangkan untuk perisai itu terbuat dari rotan. Setiap pria  (orang dewasa) didesa ini wajib ikut dalam pelaksanaan perang pandan. Sebelum perang pandan dimulai, diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa serta membawa sesaji untuk memohon keselamatan, kemudian diadakan ritual minum tuak. Tuak tersebut ditaruh di dalam bambu lalu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Kemudian tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping panggung.
Perang pandan ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar satu menit. Setelah selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain, Ini dilakukan bergilir (kurang lebih selama 3 jam). Setelah  upacara perang pandan tersebut selesai semua peserta yang terluka oleh duri daun pandan diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang menurut masyarakat sangat ampuh untuk menyembuhkan luka.
Tradisi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, dewa perang yang dihormati dengan darah lewat upacara perang pandan, dilakukan tanpa rasa dendam, meski harus saling melukai dengan duri pandan. Setelah Perang Pandan selesai kemudian ditutup dengan bersembahyangan di Pura yang ada di desa Tenganan serta  mempersembahkan tari Rejang.
KERANGKA TEORI
Teori W. Robertson Smith Tentang Upacara Religi
Robertson  Smith mengemukakan tiga gagasan mengenai Upacara Adat :
Ø  Di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa khusus.
Ø  Upacara religi atau agama yang biasa dilaksanankan oleh masyarakat pemeluk agama yang bersangkutan mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, melainkan sebagai suatu kewajiban sosial.
Ø  Pada pokoknya, upacara religi dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang (terutama darahnya) kepada dewa merupakan aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu, dewa atau para dewa dipandang sebagai warga komunitas walaupun sebagai warga istimewa.


ANALISIS TEORI
Dari teori yang dikemukakan oleh Robertson Smith tersebut dapat dilihat bahwa teorinya  sangat relevan dengan masyarakat adat Tenganan. Gagasan Smith yang pertama mengenai upacara sebagai perwujudan dari religi, dalam masyarakat Tenganan sendiri  sebuah tradisi merupakan aplikasi dalam agama Hindu. Upacara adat juga menjadi sebuah simbol dari sebuah agama (religi), serta mencerminkan cara hidup atau pola hidup yang dijalani oleh pemeluknya. Menurut pandangan Smith, sebuah upacara adat itu akan selalu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud, atau doktrinnya berubah.
Tradisi perang pandan menjadi perwujudan dari agama (religi) Hindu yang dianut di desa Tenganan sebagai cara bertahan hidup di era modern. Mereka mempertahankan tradisi secara turun-temurun dan menjaga keasliannya. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan pada dunia bahwa mereka itu ada dan memiliki peran dalam kehidupan. Setiap pemeluk religi memiliki cara mereka sendiri dalam melakukan perwujudan religi, karena menurut Smith itu merupakan sistem dalam setiap religi. Dalam setiap religi memiliki sitemnya sendiri dan memberikan simbol pada religi tersebut, sehingga orang yang melihat tahu akan doktrin religi tersebut.
Perang pandan sebagai tradisi religi adat Tenganan memiliki fungsi sosial, ini seperti gagasan Smith yang kedua, bahwa upacara religi atau agama yang biasa dilaksanankan oleh masyarakat pemeluk agama yang bersangkutan mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Hal tersebut memang sangat benar menurut saya, masyarakat adat Tenganan melakukan tradisi perang pandan memiliki fungsi lain yaitu untuk mempererat solidaritas antar pemeluk religi (fungsi sosial). Meskipun mereka bertarung dan saling melukai satu sama lain, mereka tidak merasa dendam atau kesal.
Menurut Smith para pemeluk religi memiliki motivasi lain selain untuk berbakti pada dewa, yaitu sebagai suatu kewajiban sosial. Kewajiban sosial di sini yaitu status mereka sebagai masyarakat adat Tenganan untuk melaksanakan upacara adat, mereka memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam upacara adat. Dan motivasi mereka itu telah melenceng dari motivasi utama untuk berbakti pada dewa mereka. Mungkin para pemeluk religi akan merubah sedikit demi sedikit motivasi mereka dalam melaksanakan upacara religi sebagai ketaatan pada sang dewa menjadi sebuah kewajiban sosial. Motivasi ini akan berubah dengan cepat apabila tidak ditanamkan pada generasi selanjutnya. Perubahan motivasi ini juga bisa berdampak pada hilangnya sebuah tradisi upacara religi, karena motivasi yang dimiliki tidak sesuai.
Gagasan Smith yang ketiga yaitu bahwa pada pokoknya, upacara religi dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang (terutama darahnya) kepada dewa merupakan aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu, dewa atau para dewa dipandang sebagai warga komunitas walaupun sebagai warga istimewa. Tradisi perang pandan adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, dewa perang yang dihormati dengan darah lewat upacara perang pandan. Masyarakat adat Tenganan beranggapan bahwa dahulu Dewa Indra berperang melawan raja Maya Denawa yang kejam untuk menjaga keselamatan desa. Kemudian masyarakat adat Tenganan melakukan upacara adat dalam bentuk perang pandan untuk menghormati Dewa Indra serta para leluhur yang rela berperang. Jadi darah yang keluar dalam perang pandan merupakan wujud penghormatan pada Dewa Indra.
Seperti yang dikatakan Smith, aktivitas menyajikan darah dalam upacara adat Tenganan merupakan untuk mendorong solidaritas antara pemeluk religi dengan Dewa Indra. Sehingga dalam hal ini Dewa Indra dipandang oleh warga Tenganan sebagai warga komunitas, meskipun disamping itu sebagai warga istimewa. Robertson Smith juga menyatakan bahwa upacara bersaji merupakan sebagai suatu upacara yang gembira meriah dan juga keramat. Seperti halnya upacara perang pandan, kegembiraan terlihat pada semua peserta perang pandan. Di samping itu perang pandan juga keramat, karena acara ini dilakukan di depan Bale, yang pada dasarnya Bale merupakan tempat yang suci bagi masyarakat adat Tenganan.

PENUTUP
Upacara religi merupakan perwujudan dari sebuah religi dan itu adalah sistem untuk implementasi religi tersebut. Di samping itu upacara atau ritual religi seperti perang pandan di desa adat Tenganan juga memiliki fungsi sosial sebagai alat untuk memperkuat solidaritas antar pemeluk religi (agama) serta solidaritas dengan dewanya atau Tuhannya. Ritual religi sebagai cara untuk mempertahankan budaya serta berguna sebagai sarana untuk menjaga keharmonisan dalam hidup berdampingan. Sehingga menciptakan hubungan sosial yang baik.


DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat.  1987.  Sejarah Teori Antropologi.  Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar